Totalada 91 puisi karya Chairil Anwar yang diterjemahkan. Puisi terjemahannya telah dimuat Januari 2002 di Majalah Buratwangi. Sementara terjemahan ini merupakan terjemahan ketiga yang ia lakukan. Karyayang terbit antara lain, Deru Tjampur Debu, Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus, Tiga Menguak Takdir, Chairil Anwar Pelopor Angkatan '45, dan Aku ini Binatang Jalan (tahun 1986). H.B. Jassin ialah orang yang cukup berperan terhadap karya-karya Chairil. Ia membela sajak-sajak Chairil. Harapandan keinginan Bapak Chairil Anwar. Seratus tahun telah berlalu. Bapak Chairil Anwar di usia 27 tahun telah pergi untuk selama-lamanya dengan diaognasa kanker paru-paru atau TBC yang merenggut jiwanya tepat pada pukul 15.15 WIB tanggal 28 April 1949 dengan status duda meninggalkan seorang anak yang bernama Evawani Chairil Anwar. Inilah3 kumpulan puisi karya Chairil Anwar paling populer dan dapat mengispirasi kamu menginspirasi. 1. Aku Aku Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang 'kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Dari75 sajak asli dan 2 sajak saduran karya Chairil Anwar di dalam buku "Aku Ini Binatang Jalang" pilihan dijatuhkan pada karyanya yang ditulis BASASTRA Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 9 Nomor 2, Oktober 2021, P-ISSN 2302-6405, E-ISSN 2714-9765 213 pada tahun 1949 berjudul Derai-Derai Cemara sebab dinilai mampu menyoroti iNUv3ua. Medan - Chairil Anwar adalah penyair kelahiran Kota Medan yang menciptakan banyak karya terkenal, khususnya puisi. Sampai akhir hidupnya, beliau yang berjasa dalam dunia sastra pun dikenang melalui peringatan Hari Puisi Nasional setiap tanggal 28 dengan karya puisi yang dibuat oleh tokoh terkemuka Chairil Anwar? Berikut detikSumut sajikan 30 kumpulan karya puisi Chairil Anwar yang menyentuh dan penuh makna. Simak artikel ini hingga akhir, ya, detikers!1. Aku Maret 1943Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang'kan merayuTidak juga kauTak perlu sedu sedan ituAku ini binatang jalangDari kumpulannya terbuangBiar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjangLuka dan bisa kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih periDan aku akan lebih tidak perduliAku mau hidup seribu tahun lagi2. Tak Sepadan Februari 1943Aku kiraBeginilah nanti jadinyaKau kawin, beranak dan berbahagiaSedang aku mengembara serupa sumpahi ErosAku merangkaki dinding butaTak satu juga pintu baik juga kita padamiUnggunan api iniKarena kau tidak 'kan apa apaAku terpanggang tinggal Taman Maret 1943Taman punya kita berduatak lebar luas, kecil sajasatu tak kehilangan lain kau dan aku cukuplahTaman kembangnya tak berpuluh warnaPadang rumputnya tak berbanding permadanihalus lembut dipijak kita bukan taman punya berduaKau kembang, aku kumbangaku kumbang, kau penuh surya taman kitatempat merenggut dari dunia dan 'nusia4. Pelarian Februari 1943ITak tertahan lagiremang miang sengketa di siniDalam lariDihempaskannya pintu keras tak sepi seketikaDan paduan dua kelam ke malamTertawa-meringis malam menerimanyaIni batu baru tercampung dalam gelita"Mau apa? Rayu dan pelupa,Aku ada! Pilih saja!Bujuk dibeli?Atau sungai sunyi?Mari! Mari!Turut saja!"Tak kuasa ...terengkamIa dicengkam Hukum Maret 1943Saban sore ia lalu depan rumahkuDalam baju tebal abu-abuSeorang jerih menangkis jalannya - LesuPucat mukanya - LesuOrang menyebut satu nama jayaMengingat kerjanya dan jasaMelecut supaya terus ini padanyaTapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenagaPekik di angkasa Perwira mudaPagi ini menyinar lain masaNanti, kau dinanti-dimengerti!6. Rumahku April 1943Rumahku dari unggun-timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampakKulari dari gedong lebar halamanAku tersesat tak dapat jalanKemah kudirikan ketika senjakalaDi pagi terbang entah ke manaRumahku dari unggun-timbun sajakDi sini aku berbini dan beranakRasanya lama lagi, tapi datangnya datangAku tidak lagi meraih petangBiar berleleran kata manis maduJika menagih yang Kesabaran Maret 1943Aku tak bisa tidurOrang ngomong, anjing nggonggongDunia jauh mengaburKelam mendinding batuDihantam suara bertalu-taluDi sebelahnya api dan abuAku hendak berbicaraSuaraku hilang, tenaga terbangSudah! tidak jadi apa-apa!Ini dunia enggan disapa, ambil perduliKeras membeku air kaliDan hidup bukan hidup lagiKuulangi yang dulu kembaliSambil bertutup telinga, berpicing mataMenunggu reda yang mesti tiba8. Sendiri Februari 1943Hidupnya tambah sepi, tambah hampaMalam apa lagiIa memekik ngeriDicekik kesunyian kamarnyaIa membenci. Dirinya dari segalaYang minta perempuan untuk kawannyaBahaya dari tiap sudut. Mendekat jugaDalam ketakutan-menanti ia menyebut satu namaTerkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?Ah! Lemah lesu ia tersedu Ibu! Ibu!9. Suara Malam Februari 1943Dunia badai dan topanManusia mengingatkan "Kebakaran di Hutan"*Jadi ke manaUntuk damai dan reda? kali ini diam kaku sajaDengan ketenangan selama bersatuMengatasi suka dan dukaKekebalan terhadap debu dan tak sedarSeperti kapal pecah di dasar lautanJemu dipukul ombak dalam TiadaDan sekali akan menghadap Allah! Badanku terbakar - segala sudah melewati Pintu tertutup dengan Merdeka Juli 1943Aku mau bebas dari segalaMerdekaJuga dari IdaPernahAku percaya pada sumpah dan cintaMenjadi sumsum dan darahSeharian kukunyah kumamahSedang meradangSegala kurenggutIkut bayangTapi kiniHidupku terlalu tenangSelama tidak antara badaiKalah menangAh! Jiwa yang menggapai-gapaiMengapa kalau beranjak dari siniKucoba dalam Bercerai Juni 1943Kita musti berceraiSebelum kicau murai kita minta pada malam iniBenar belum puas serah-menyerahDarah masih kita minta pada malam musti berceraiBiar surya 'kan menembus oleh malam di perisaiDua benua bakal kesumba jadi putih IDA, mau turut mengaburTidak samudra caya tempatmu Sia-sia Februari 1943Penghabisan kali itu kau datangMembawa karangan kembangMawar merah dan melati putihDarah dan tebarkan depankuSerta pandang yang memastikan itu kita sama termanguSaling bertanya Apakah ini?Cinta? Keduanya tak itu kita hampir Hatiku yang tak mau memberiMampus kau dikoyak koyak Penghidupan Desember 1942Lautan maha dalamMukul dentur selamaNguji tenaga pematang kitaMukul dentur selamaHingga hancur remuk redam Kurnia BahgiaKecil setumpukSia-sia dilindung, sia-sia Nisan Oktober 1942Untuk nenekandaBukan kematian benar menusuk kalbuKeridlaanmu menerima segala tibaTak kutahu setinggi itu atas debudan duka maha tuan Diponegoro Februari 1943Di masa pembangunan iniTuan hidup kembaliDan bara kagum menjadi apiDi depan sekali tuan menantiTak gentar. Lawan banyaknya seratus di kanan, keris di kiriBerselempang semangat yang tak bisa barisan tak bergenderang berpaluKepercayaan tanda berartiSudah itu NegeriMenyediakan di atas menghambaBinasa di atas ditindaSungguhpun dalam ajal baru tercapaiJika hidup harus Ajakan Februari 1943IdaMenembus sudah cayaUdara tebal kabutKaca hitam lumutPecah pencar sekarangDi ruang legah lapangMari ria lagiTujuh belas tahun kembaliBersepeda sama gandenganKita jalani ini jalanRia bahgiaTak acuh apa-apaGembira girangBiar hujan datangKita mandi-basahkan diriTahu pasti sebentar kering Lagu Biasa Maret 1943Di teras rumah makan kami kini berhadapanBaru berkenalan. Cuma berpandanganSungguhpun samudra jiwa sudah selam berselamMasih saja berpandanganDalam lakon pertamaOrkes meningkah dengan "Carmen" mengerling. Ia ketawaDan rumput kering terus menyalaIa berkata. Suaranya nyaring tinggiDarahku terhenti berlariKetika orkes memulai "Ave Maria"Kuseret ia ke Kenangan April 1943Untuk Karinah MoordjonoKadangDi antara jeriji itu itu sajaMereksmi memberi warnaBenda usang dilupaAh! tercebar rasanya diriMembubung tinggi atas kiniSejenakSaja. Halus rapuh ini jalinan kenangHancur hilang belum dipegangTerhentakKembali di itu itu sajaJiwa bertanya; Dari buahHidup kan banyakan jatuh ke tanah?Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia19. Dendam Juli 1943Berdiri tersentakDari mimpi aku bengis dielakAku tegakBulan bersinar sedikit tak nampakTangan meraba ke bawah bantalkuKeris berkarat kugenggam di huluBulan bersinar sedikit tak nampakAku mencariMendadak mati kuhendak berbekas di jariAku mencariDiri tercerai dari hatiBulan bersinar sedikit tak tampak20. Kawanku dan Aku Juni 1943Kepada BohangKami jalan sama. Sudah larutMenembus mengucur kapal-kapal di mengental-pekat. Aku berkata?Kawanku hanya rangka sajaKarena dera mengelucak bertanya jam berapa!Sudah larut sekaliHingga hilang segala maknaDan gerak tak punya Dengan Mirat Januari 1946Kamar ini jadi sarang penghabisanDi malam yang hilang batasAku dan dia hanya menjengkauRakit hitam.'Kan terdamparkahAtau terserahPada putaran pitam?Matamu ungu membatuMasih berdekapankah kami atauMengikut juga bayangan itu?22. Isa November 1943Kepada nasrani sejatiItu TubuhMengucur darahMengucur darahRubuhPatahMendampar tanya aku salah?Kulihat Tubuh mengucur darahAku berkaca dalam darahTerbayang terang di mataMasa bertukar rupa ini segaraMengatup lukaAku bersukaItu TubuhMengucur darahMengucur darah23. Sorga Januari 1946Buat Basuki ResobowoSeperti ibu + nenekku jugaTambah tujuh keturunan yang laluAku minta pula supaya sampai di sorgaYang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susuDan bertabur bidari beribuTapi ada suara menimbang dalam diriku,Nekat mencemooh Bisakah kiranyaBerkering dari kuyup laut biru,Gamitan dari tiap pelabuhan gimana?Lagi siapa bisa mengatakan pastiDi situ memang memang ada bidariSuaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?24. Doa November 1943Kepada pemeluk teguhTuhankuDalam termanguAku masih menyebut namaMuBiar susah sungguh mengingatKau penuh seluruhCayaMu panas suciTinggal kerdip lilin di kelam sunyiTuhankuaku hilang bentukremukTuhanku aku mengembara di negeri asingTuhankudi pintuMu aku mengetukaku tidak bisa berpaling25. Cerita Juni 1943Kepada DarmawidjayaDi pasar baru merekaLalu sudah kesalTak tahu apa dibuatJiwa satu teman lucuDalam hidup, dalam diselimuti tebalSama segala kadang pula dapatIni renggang terus Kita Guyah Lemah Juli 1943Kita guyah lemahSekali tetak tentu rebahSegala erang dan jeritanKita pendam dalam keseharianMari tegak merentakDiri sekeliling kita bentakIni malam purnama akan menembus Dalam Kereta Maret 1944Dalam menebal jendelaSemarang, Solo..., makin dekat sajaMenangkup menyayat mulut dan kereta. Menjengking jiwa,Sayatan terus ke Jangan Kita Disini Berhenti Juli 1943Jangan kita di sini berhentiTuaknya tua, sedikit pulaSedang kita mau berkendi-kendiTerus, terus dulu...!!Ke ruang di mana botol tuak banyak berbarisPelayannya kita dilayani gadis-gadisO, bibir merah, selokan mati pertamaO, hidup, kau masih ketawa??29. Penerimaan Maret 1943Kalau kau mau kuterima kau kembaliDengan sepenuh hatiAku masih tetap sendiriKutahu kau bukan yang dulu lagiBak kembang sari sudah terbagiJangan tunduk! Tentang aku dengan beraniKalau kau mau kuterima kau kembaliUntukku sendiri tapiSedang dengan cermin aku enggan Perhitungan Maret 1943Banyak gores belum terputus sajaSatu rumah kecil putih dengan lampu merah muda cayaLangit bersih cerah dan purnama raya...Sudah itu tempatku tak tentu di pandangan serupa dua klewang bergeseranSudah itu berlepasan dengan sedikit heranHembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi...!?Kini aku meringkih dalam malam itulah 30 kumpulan karya puisi Chairil Anwar yang menyentuh dan penuh makna. Semoga bermanfaat, ya, detikers!Artikel ini ditulis oleh Felicia Gisela Sihite, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom. Simak Video "Lukman Sardi Terbawa Emosi Saat Bacakan Karya Puisi Chairil Anwar" [GambasVideo 20detik] nkm/nkm Cerpen Berjalan Menjalani Panjang jalan di depan membentang dihamparan masa depan. Panjang jalan di belakang, kisah lalu dalam lembaran sejarah untuk dasar melangkah. Aku jejaki panjang jalan yang kisahnya masih menunggu kehadiranku. Meneruskan jalan panjang kisah lalu, karena aku adalah anak sejarah. Melewati masa kini, dan aku tinggal pergi. Aku kejar masa depan bersama perjalanan waktu. Kini kaki terus melangkah. Tak henti walau pandangan berat, terbebani. Juangnya adalah harap impian tercapai. Langkah yang panjang harus terbekali ketekunan dan kesabaran. Melewati sekumpulan manusia yang turun-naik dari kendaraan angkutan umum. Mendapati sekawan lama yang terlahir sebagai manusia. Ia adalah sekawan satu masa denganku. Aku sapa ia. “Hai, pergi?” “Hai juga. Iya. Kau pulang?” “Iya, Pulang.” Terlewatkan. Aku lewatkan karena perjalananku sendiri yang terasa individu. Sangat individu. Impian pun berbeda. Perjalanan sejatinya niat keindividuan kita untuk menjalani kehidupan. Aku pandang. Berjejeran pedagang. Bertempat di kios-kios. Terlihat laris. Laris manis. Untung walau tak melimpah. Ada pula yang tak laris. Betapa kehidupan yang berjalan dan berjalannya kehidupan adalah seucap kata “uang”. Pedagang yang berjejer adalah buktinya nyata, mereka butuh “uang”. Sampai duduk mematung, menunggu pelanggan atau pembeli baru sampai larut malam, buktinya nyata mereka butuh uang. Mereka tak lagi memandang ilmu apa yang di dapat. Mereka lebih memandang “seberapa mampu mendapat uang?” Sungguh mereka senang bila keuntungan melimpah ruah. Tapi ini hanya pedagang kecil? Kemampuan pun kecil. Mungkinkah? Berjuang. Terus berjalan penuh perjuangan. Hidup bukanlah perjuangan belaka. Hidup adalah perjalanan jiwa dan raga yang di dalamnya terselip perjuangan yang akan tetap mampu menggerakkan jiwa dan raga. Sehingga keberhasilan dalam perjalanan adalah kebahagiaan tiada tara. Mengingat perjuangan menggapainya yang bersusah-susah, berlelah-lelah, tersedih- sedih. Menjumpai dan melewati. Terus menjumpai dan terus melewati setiap kisah kehidupan. Kini kaki hinggap pada pemandangan sekolah. Terdapat sekumpulan siswa korban aturan kedisiplinan. Di luar sekolah berkumpul para pelajar malas atau bernasib sial. Menunggu di luar sekolah sembari sebatang rokok terhisap oleh banyak siswa seakan inilah “kedewasaan sejati”―dan pedagang pun diam tak punya urusan. Terlihat, seorang siswi dalam kegiatan berhias diri, melihat cermin tak henti seakan inilah “penampilan sejati”. Terlihat sepasang pelajar memadu kasih. Potret pendidikan warisan pendahulunya masih melekat membudaya. “Ah... aku jadi teringat di masa SMA. Dan teringat selalu di waktu itu. Ingatanku masih pulih. Mungkin karena sekolah selalu mendidik pada kegiatan menghafal.” Lalu perjalanan kaki membuatku menutup kembali kisahku yang dulu. Aku beralih pandang menatap kisah kehidupan yang lain. Ia hampir menyikut perjalanan kehidupanku. Aku terkejut. kaget. Ketakutan. Biar aku takut! Inilah kemanusiaan. “Dasar pengguna jalan yang tak beraturan! Peraturan lalu lintas hanya kisah lalu! Bedebah kau!” aku geram. Aku rekam kejadian itu. Itu kejadian buruk untukku. Aku jadikan sebagai pelajaran. Kembali aku lanjutkan. Lelah. Lelah dalam hidupku. Betapa kehidupan adalah perjalanan yang melelahkan. Jenuh. Apalagi di tambah ulah usil manusia yang tak beraturan. Makan hati. Lelah jiwa dan ragaku. Aku pelankan langkah. Langkah dalam pelan. Menenangkan keadaan dalam perjalanan hidupku. “Ada yang mau bantu aku?” Tapi semua diam. Tak ada yang menanggapi. Tapi karena memang aku hanya diam. Tak meminta belas kasihan. Sehingga semua itu harus berawal dari seucap mulut. “Tapi aku berikan bahasa isyarat pada orang-orang yang melewati perjalananku. Aku dalam lunglai, lelah. Mengapa mereka tak membaca isyarat bahasa tubuhku? Ah, mereka sudah tak peka dalam kehidupan kesosialannya. Mengapa harus berawal dari seucap mulut? Ah, Sudah lah,” gumamku. Aku tetapkan tekad berjalan walau dalam lelah. Berjalan untuk menjalani kehidupan. Karena kita tidak akan hidup bila tak ada perjalanan. Bahkan setelah mati pun kita menempuh perjalanan baru yang melelahkan untuk menjalani kehidupan akhirat. Jarak sudah makin menjauh dari belakang jalan. Aku telusuri tiap-tiap rumah. Sengaja melihat salah satu seindah rumah. Rumah tokoh masyarakat. Terkejut! Aku terkejut menatap dalam kesadaran. Memang aku terbiasa melewati pemandangan rumah ini. Tapi ini terkejut! Tak seperti biasa. Ini hal yang luar biasa. Entah jalur resmi atau jalur asal jadi. Ia memanjakan dua kekasih diteriknya matahari. Menjalani kehidupan rumah tangga dengan dua istri. Panas bertambah panas dalam hati. Entah lah. Yang jelas dua istri itu tunjukkan wajah tertawa. Mungkin terselip cemburu yang tertahan, tak terungkapkan. Entahlah. Yang jelas aku yang panas, cemburu. Kekasih satu pun tak ada di sampingku. Sehingga aku tetap berjalan dengan kesendirian. Tak apa lah. Haus. Lapar. Mereka menyerang tubuhku. Tak ada kata menunggu. Tapi tubuhku harus menunggu. Perjalanan masih lah jauh. Lumayan perjalanan dalam kejauhan. Keringat di punggung pun belum sempat aku keringkan. Tunggulah tenggorokan, tunggulah perut. Kalian akan segera terisi. Karena aku mengerti. kehidupan adalah rutinitas makanan dan minuman. Perjalanan menatap keramayan. Pertunjukkan? Bukan. Kegiatan tradisi. tradisi tujuh bulanan. Ia, itu benar. Tradisi tujuh bulanan hasil kolaborasi yang entah bagaimana asal mulanya. Selametan untuk si cabang bayi yang sudah menjalani kehidupan di ruang rahim selama tujuh bulan. Terlihat si ibu cabang bayi bermandikan air bunga. Bercampur dengan air tujuh sumur yang terpilih. Bercampur pula dengan bunga tujuh rupa. Entah bunga apa saja. Sembari diiringi puji-pujian, solawatan yang dilakukan para ibu-ibu. Disambut anak-anak, remaja, orang tua dan dari segala umur untuk meraup uang receh yang bertaburan. Huft... teringat waktu aku masih kecil. Tapi sekarang sudah dewasa. Sudah menjadi mahasiswa. Memiliki malu pula. Karena mahasiswa sudah di cap sebagai orang kritis. Padahal aku tidak. Tak henti-henti omongan orang dewasa yang berstatus mahasiswa melontarkan kritik pada tradisi hasil kolaborasi. Tapi aku tak menghiraukan. Aku malas membalas kritik. Yang penting, suasana hati meriah bahagia karena tradisi. Seakan ingin kembali ke masa kecil. Menjalani tradisi nusantara dengan polos dan lucu. Pemandangan meriah. Berubah. Entah cerita ini telah diatur sedemikian rupa atau memang tak disengaja. Yang jelas terlihat dua remaja berkelahi. Yang satu dari anak priayi yang satu lagi dari anak santri. Suatu pemandangan yang tak adil. Tak ada kuasa membalas bagi anak santri. Tapi bertubi-tubi anak priayi menghabisi. Akankah sampai terbawa-bawa tingkat derajat? Sehingga yang berderajat rendah mengalah, kalah. Ataukah karena ia tak berani? Ia seorang diri. Takut terancam di kemudian hari. Tapi yang jelas beberapa pemuda langsung memisahkan. Hanya cucuran darah anak santri yang masih berjalan melewati tiap pori-pori. Mengerikan. Lupakan. Tak penting. Perjalanan semakin mendekati masa akhir. Tapi kini melewati tempat manusia yang terpendam dalam tanah. Karena mati. Tentu. Bukan karena hidup. Aku berjalan sendiri. Suasana kembali sunyi. Tapi aku menikmati suasana ini. Memang tempat orang mati pantas dijadikan perenungan diri. Akan seperti apa kita nanti? Aku teringat Ayah. Ia meninggalkan perjalanan kehidupan bersamaku, bersama satu adikku, dua kakakku, pula meninggalkan perjalanan kehidupan bersama ibu tercinta... Waktu itu aku masih SMA. Aku berikan seucap salam untuk ahli kubur ini, pula kirimkan doa untuk ayah. Biarlah pengiriman doa untuk orang lain di lain waktu saja. Aku sedih. Tapi harus hilangkan sedih segera! Ya, Betul! Aku harus tegar! Dekat kuburan, sebelahnya terdapat gundukan sampah. Bau menyengat. Aku merasa terganggu. Suasana tenang, nyaman seakan kini terusik. Sampah! Dasar sampah! Masyarakat sering kali menjalani kegiatan menyampah ke tempat ini. Entah sudah berapa kali masyarakat mengulang- ulang perbuatannya. Sampai kini, gundukan sampah makin menggunung tak terurus. Ini telah menjadi sampah masyarakat. Dan aku membandingkan sekumpulan manusia mati dan sekumpulan sampah. Aku pun tertawa geli dalam hati, “Hahahahaha...” Mungkin sama. Perbedaannya hanya pada jiwanya. Tapi, bila jiwa seperti sampah, bagaimanakah? Entah lah. Pemandangan kerinduan terlihat. Akhirnya impianku tercapai. Masuk istana keluarga. Aku makin merasakan siksa dari tema tentang “haus dan lapar”. Aku segera masuk. Aku segera membereskan keadaan yang masih berbau dunia perkuliahan. Segera aku menjalani bekal diri untuk menyambut peristirahatanku. Agar dunia impian nampak indah. Kini aku semakin merasakan tak kuat dalam kesadaran. Aku rebahkan tubuhku. Pelan tapi pasti aku tak sadarkan diri dari kehidupan dunia. Aku pergi ke dalam kehidupan lain. Nampak begitu berbeda. Dan dalam kehidupan baru, aku tetap bisa menjalani perjalanan kehidupan dengan baik karena terbekali makanan dan minuman. Share › Opini›Chairil Anwar sebagai Kurir... Penerjemahan berarti juga pengalihmaknaan wacana dari satu sistem budaya ke sistem budaya lain. Hakikat kerja penerjemahan adalah satu upaya membangun jembatan antarbudaya dan antarbangsa, menerobos sekat bahasa. DIDIE ini kita peringati genap seratus tahun kelahiran Chairil Anwar. Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922, dan wafat di Jakarta, 28 April 1949, dalam usia 27 tahun. Namun, dalam usia semuda itu dan dalam masa puncak kreatif sekitar tujuh tahun saja, karya-karyanya amat berpengaruh dalam sejarah sastra tertera dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” 1945, Chairil termasuk di antara para penyair yang menyatakan diri sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”. Melalui pergaulannya yang intens dengan “kebudayaan dunia”, Chairil antara lain membawa pengaruh sastra dunia modern ke dalam puisi-puisinya. Chairil juga memperkenalkan dan menerjemahkan sejumlah puisi dan prosa karya para sastrawan dunia masa itu dari berbagai bahasa—Belanda, Inggris, Jerman. Dalam hal ini, menyitir José Saramago, Chairil adalah “kurir sastra dunia”. Menurut Jassin dalam senarai yang dia susun di dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 1956, antara 1942 dan 1949 Chairil setidaknya menghasilkan 70 puisi asli, 6 prosa esai asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, dan 4 prosa surat, cerpen, dan novela adalah pembelajar tekun yang membaca karya para penyair dunia sezaman dan pendahulunya, antara lain Jan Slauerhoff 1898-1936 dan Hendrik Marsman 1899-1940. Dia kemudian menerjemahkan, menyadur, menyitir, dan mendapatkan pengaruh dari apa-apa yang dibacanya yang kemudian memperkaya karya-karyanya “Hoppla!”, dia menegaskan pandangannya tentang sastra dunia modern yang menjadi inspirasinya. Chairil antara lain menulis, “Hopplaa! Melompatlah! Nyalakan api murni, api persaudaraan bangsa-bangsa yang tidak akan kunjung padam.” Chairil menyalakan “api persaudaraan bangsa-bangsa” itu melalui karya sastra yang dia sesungguhnya tak sekadar alih bahasa suatu teks, tetapi juga pengalihmaknaan wacana dari satu sistem budaya ke sistem budaya lain. Maka, kerja penerjemahan adalah upaya membangun jembatan antarbudaya dan antarbangsa dengan menerobos sekat bahasa. Lalu, bagaimanakah sumbangan Chairil terhadap sastra Indonesia sebagai penerjemah karya sastra?Menurut saya, sumbangan Chairil sungguh signifikan. Chairil, misalnya, orang pertama yang menerjemahkan ke bahasa Indonesia karya tiga pemenang Hadiah Nobel Sastra sezamannya. Mereka adalah John Steinbeck 1902-1962 lewat “Kena Gempur” dari “Raid”, dipublikasikan majalah Panca Raya, Februari 1947, lalu diterbitkan Balai Pustaka, 1951, André Gide 1869-1951 lewat “Pulang Dia si Anak Hilang” dari “Le retour de l’enfant prodigue”, disiarkan majalah Pustaka Rakyat, September 1948, dan Ernest Hemingway 1899-1961 lewat cerpen “Tempat yang Bersih dan Lampunya Terang” dari “A Clean and Well-Lighted Place”, dimuat majalah Internasional, Juli 1949.Gide memenangkan Nobel Sastra pada 1947. Hemingway kelak meraih Nobel Sastra pada 1954. Sementara, Steinbeck mendapatkan Nobel Sastra pada 1962. Ini menunjukkan pula ketajaman penilaian Chairil dalam memilih pengarang mana yang perlu puisiChairil juga menerjemahkan puisi-puisi karya para penyair terkemuka dunia, antara lain Multatuli, E. Du Perron, Rilke, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, Auden, dan John satu puisi terjemahannya adalah “Huesca” yang diterjemahkan dari sebuah sajak terkenal John Cornford 1915-1936, penyair komunis Inggris yang gugur dalam Perang Sipil Spanyol. Puisi ini sesungguhnya tak diberi judul oleh penyairnya sendiri. Setelah kematian Cornford, puisi itu dikenal sebagai “To Margot Heinemann” dan disebut penyair Carol Rumens sebagai “salah satu puisi cinta paling menyentuh pada abad ke-20”.Terjemahan Chairil yang disiarkan kali pertama oleh majalah Gema Suasana pada Juni 1948 ini pernah dikritik karena dianggap tidak setia dengan teks aslinya. Namun, di sisi lain terjemahan itu dipandang indah serta membuka penafsiran dan makna puisi itu, Chairil menerjemahkan larik “Heart of the heartless world” sebagai “Jiwa di dunia yang hilang jiwa”. Di sini Chairil menerjemahkan kata “heart”, yang berarti “hati” atau “inti”, menjadi “jiwa” dan “heartless” yang bermakna “kejam” sebagai “hilang jiwa”.Larik pembuka sajak Cornford ini sesungguhnya kutipan kata-kata Karl Marx dalam pengantar Critique of Hegel’s Philosophy of Right 1843.Sementara, larik penutup yang berbunyi “Remember all the good you can/ Don’t forget my love” diterjemahkan sebagai “Ingatlah sebisamu segala yang baik/ Dan cintaku yang kekal”, alih-alih “Kenanglah segala kebaikan yang kau ingat/ Jangan lupakan cintaku”.Secara harfiah, terjemahan Chairil tersebut kurang tepat. Namun, dari perspektif lain, “kreativitas” Chairil dalam menafsirkan larik-larik itu dalam teks terjemahannya membuka nuansa puitis yang baru dan tajam dalam menggambarkan keputusasaan dan cinta yang pedih di tengah perang dan ancaman pandangan saya, terjemahan Chairil itu menjelma sebuah puisi tersendiri atau “karya baru” yang utuh dalam bahasa Indonesia. Menyitir kata-kata Chairil dalam sebuah pidato radio pada 1946, puisi terjemahan itu memenuhi syarat sebagai “puisi yang berarti” karena “mampu memadukan suasana, kehidupan, dan tokohnya”. Puisi terjemahan Chairil itu adalah “sebuah sajak yang menjadi”, yakni “suatu dunia” yang “diciptakan kembali oleh si penyair” yang dalam hal ini adalah “si penerjemah” dan berhasil “menyentuh” pembacanya.“A translator is a traitor,” ujar sebuah adagium terkenal. Dalam konteks tertentu, itu ada benarnya. Apa yang dilakukan Chairil Anwar sebagai penerjemah terhadap teks puisi John Cornford adalah contoh pengkhianatan yang indah—sebuah penafsiran yang mungkin tak sepenuhnya berhasil, tetapi dia mampu menyentuh kita sebagai pembaca. Mengutip Sapardi Djoko Damono, “Tak ada penerjemahan yang salah; yang ada adalah karya yang berhasil atau yang gagal menyentuh kita.”Terlepas dari segala kontroversi yang melingkupinya—termasuk dugaan dia pernah memplagiat sejumlah puisi pengarang asing—Chairil Anwar adalah kurir sastra dunia yang amat berjasa dalam memperkenalkan karya para sastrawan terkemuka dunia melalui hasil Kurnia, pengarang dan penerjemah, penulis buku Seni Penerjemahan Sastra Panduan, Gagasan, dan Pengalaman 2022. EditorMOHAMMAD HILMI FAIQ Chairil Anwar yang terkenal karena karya-karya sastranya adalah sosok yang melegenda khususnya bagi para pencinta sastra. Chairil dianggap sebagai seorang pelopor Angkatan ’45 yang banyak membuat karya sastra, walaupun semasa hidupnya banyak yang belum sempat diterbitkan. Belajar dari kisah hidupnya yang bisa terbilang sangat singkat, ada banyak hal yang mampu dipetik dari sepenggal perjalanan Chairil dalam dunia kesusastraan. Berikut merupakan kisah Chairil yang mampu membuat orang mengenalnya melalui Dia adalah seorang anak tunggal yang saat masih muda hidupnya sangat dilahirkan pada 26 Juli 1922 dan menghabiskan masa mudanya di Medan, kemudian ia ikut ibunya pindah ke Batavia setelah orangtuanya bercerai. Ia bersekolah di zaman penjajahan Belanda dan hanya menamatkan pendidikan dasar tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di MULO Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang setara dengan tingkat SMP. Sifat dan kemauannya yang keras kerap membuat orang memandang bahwa ia adalah sosok yang terus membara, meluap-luap dan tidak mau Dalam beberpa puisinya, ia banyak bercerita tentang para perempuan yang pernah singgah di hatinya, namun cintanya tak pernah banyak yang dapat dikulik dari kisah hidupnya yang sangat singkat. Akan tetapi, setiap penggemarnya tahu bahwa ia sangat mengagumi sosok Sri Ayati yang ia cintai. Ia kerap menuliskan isi hatinya melalui puisi untuk Sri Ayati Senja di Pelabuhan Kecil.Namun sayangnya ia tidak mampu mengutarakan cintanya hingga Sri Ayati menikah dengan orang lain. Kemudian ia pun menikah dengan Hapsah walaupun tak bertahan lama hingga berujung dengan itu, dalam beberapa karyanya juga disebut beberapa nama perempuan seperti Nyonya N, buat K, Ina Mia, Gadis Rasid dan yang lainnya. Mereka adalah perempuan yang juga pernah singgah di hati seorang Chairil Anwar. Baca Juga 6 Fakta Menarik Voltaire, Sang Filsuf dan Sastrawan Penyuara Keadilan 3. Meninggal di usia yang masih sangat muda yakni 26 tahun, tetapi karyanya abadi hingga memiliki gaya hidup yang semaunya dan tidak terlalu mempedulikan orang. Hingga ia sendiri kemudian merasa kesusahan terutama kesulitan ekonomi. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan perceraiannya dengan tidak teratur dan berantakan hingga di masa mudanya ia terserang berbagai penyakit terutama TBC dan komplikasi. Tak lama kemudian ia pun meninggal dunia dan kepergiannya disaksikan oleh banyak sahabat berpikir dan kedalaman makna dari setiap karyanya membuatnya banyak dikagumi oleh orang. Bahkan hingga kini karyanya telah terbit dan diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. 4. Namun di balik sosoknya yang berantakan, dia banyak dicintai oleh para sastrawan di masa itu, termasuk sahabatnya hidupnya ia banyak berkirim surat kepada Jassin sahabat karibnya. Terutama saat menjelang kepergiannya, banyak cerita yang ia utarakan kepada Jassin. Chairil banyak bercerita tentang keadaan jiwanya yang saat itu sedang tersebut yang kemudian menobatkannya menjadi seorang penyair pelopor Angkatan ’45. Jassin adalah seorang kritikus sastra dan juga seorang dosen sastra Indonesia. Termasuk juga karya Chairil Anwar yang ia kritisi sehingga mampu dikenal oleh banyak orang hingga Sapardi Djoko Damono, mengatakan bahwa Chairil Anwar merupakan sosok penyair penting yang memiliki kecerdasan dianggapnya sebagai sosok yang memiliki seperangkat ciri seniman tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan dan tingkah lakunya karyanya yang luar biasa menunjukkan bahwa ia mampu tumbuh dengan sangat cepat, dan raganya juga layu dengan cepat. Ia banyak bergaul dengan sejumlah seniman dalam bidang apa pun sehingga pada zamannya ia paling banyak dikenal di antara Anwar, hidup dalam dunianya yang ia tuangkan dalam goresan-goresan pena. Kini ia benar-benar akan terus hidup seribu tahun lagi di hati setiap pengagumnya. Baca Juga 5 Fakta Tokoh Pers Ani Idrus yang Jadi Sosok Google Doodle Today IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis. Puisi Chairil Anwar – Selamat datang kembali di web ekspektasia. Siapa sih yang tidak kenal Chairil Anwar? Seorang penyair besar yang dimiliki Indonesia. Banyak sekali karyanya yang hingga saat ini masih sangat yang paling terkenal yang pernah dibuat oleh Chairil Anwar yaitu sebuah puisi yang berjudul “AKU”. Bahkan dari puisi ini dia dijuluki dengan nama “Si Binatang Jalang”.Chairil Anwar sendiri membuat puisi dengan berbagai objek, seperti puisi cinta, puisi sahabat, puisi ibu, puisi sindiran kepada pejabat, dan lain kita bisa mengenal dan mengenang semua karyanya, maka berikut ini kami sajikan kumpulan puisi karya Chairil Chairil Anwar adalah salah seorang penyair Indonesia yang berasa dari Medan. Tulisannya yang dimuat di Majalah Nisan pada tahun 1942 membuat dirinya mulai terkenal di dalam dunia sastra. Kemudian berkat karyanya yang berjudul “AKU”, Chairil Anwar ini dikenal sebagai “Si Binatang Jalang”.Karya yang pernah Ia tulis yaitu sebanyak 94 karya yang dimana 70 di antaranya merupakan puisi. Kemudian oleh Jassin, Chairil Anwar bersama dengan Asrul Sani dan Rivai Apin dinobatkan sebagai pelopor Angkatan ’45 sekaligus puisi modern ini detail biodata Chairil Anwar yang bersumber dari Wikipedia,Nama Lengkap Chairil Anwar Tanggal Lahir 26 Juli 1922 Tempat Lahir Medan, Indonesia Pekerjaan Penyair Kebangsaan Indonesia Orang tua Ayah – Toeloes dan Ibu – SalehaChairil Anwar adalah seorang anak tunggal dari ayah Toeloes dan Ibu Saleha yang selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya tersebut. Ia lahir dan dibesarkan di Medan, teman akrabnya waktu kecil yang juga sangat mengesankan dalam hidupnya yaitu neneknya yang merupakan tempat Ia belajar yaitu di sekolah dasar dengan nama Hollandsch-Inlandsche School HIS. Setelah lulus, kemudian melanjutkan sekolahnya ke sekolah menengah pertama di Meer uitgebreid Lager Onderwijs MULO, namun Ia keluar sebelum keluar dari sekolah MULO, Ia memanfaatkan waktunya untuk membaca karya-karya pengarang Internasional. Pada saat usia remaja, barulah Ia mulai menulis puisi, namun tidak ada satupun puisi yang sesuai dengan tahun 1940 dimana usianya pada saat itu yaitu 19 tahun, ia pindah ke Jakarta bersama ibunya, dan dari sinilah dia mulai serius berkecimpung di dunia sastra, sehingga pada tahun 1942 terbitlah puisi nama Chairil Anwar pun terkenal semenjak karya yang ia tulis di muat di “Majalah Nisan” pada tahun 1942. Salah satu puisinya yang kita kenal dan sering dideklarasikan yaitu puisi Chairil Anwar berjudul “AKU” Aku mau hidup seribu tahun lagi.Selain menulis puisi, ia juga menjadi penerjemah karya sastra asing ke dalam bahasa Anwar sudah terkenal secara internasional, berikut iini merupakan karya-karya yang membahasa tentang Chairil AnwarChairil Anwar memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan Djakarta, 1953.Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar The Poet and his Language” Den Haag Martinus Nijhoff, 1972.Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar” Ujung Pandang Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974. Nababan, “A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar” New York, 1976.Arief Budiman, “Chairil Anwar Sebuah Pertemuan” Jakarta Pustaka Jaya, 1976.Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45, disertai kumpulan hasil tulisannya”, Jakarta Gunung Agung, 1983.Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” Manado Universitas Sam Ratulangi, 1984.Rachmat Djoko Pradopo, “Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern” Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.Sjumandjaya, “Aku berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar Jakarta Grafitipers, 1987.Pamusuk Eneste, “Mengenal Chairil Anwar” Jakarta Obor, 1995.Zaenal Hakim, “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” Jakarta Dian Rakyat, 1996.Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas, sutradara Joshua Igho, di Gedung Kesenian Kota Tegal 2006.AKUKalau sampai waktuku Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih perih Dan akan lebih tidak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagiPuisi Chairil Anwar Karawang BekasiKARAWANG BEKASIKami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawaKami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakanAtau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa, Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkataKami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung SjahrirKami sekarang mayat Berikan kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impianKenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi1957Puisi Chairil Anwar Tentang Cinta – Cintaku Jauh Di PulauCintaku jauh di pulauCintaku jauh di pulau Gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak kan sampai padanyaDi air yang tenang, di angin mendayu di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata “Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama kan merapuh Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!Manisku jauh di pulau, kalau ku mati, dia mati iseng Chairil Anwar DiponegoroDiponegoroDi masa pembangunan ini tuan hidup kembali Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tak bisa Chairil Anwar DoaDOAKepada pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namamuBiar susah sungguh Mengingat Kau penuh seluruhCahaya Mu panas suci Tinggal kerdip lilin di kelam sunyiTuhanku Aku hilang bentuk remukTuhanku Aku mengembara di negeri asingTuhanku Di pintu Mu aku bisa mengetuk Aku tidak bisa berpalingPuisi Chairil Anwar Tentang Persahabatan – Kepada KawanKepada KawanSebelum ajal mendekat dan mengkhianat, mencengkam dari belakang tika kita tidak melihat, selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa, belum bertugas kecewa dan gentar belum ada, tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam, layar merah berkibar hilang dalam kelam, kawan, mari kita putuskan kini di sini Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!Jadi Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan, Tembus jelajah dunia ini dan balikkan Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu, Pilih kuda yang paling liar, pacu laju, Jangan tambatkan pada siang dan malam Dan Hancurkan lagi apa yang kau perbuat, Hilang sonder pusaka, sonder kerabat. Tidak minta ampun atas segala dosa, Tidak memberi pamit pada siapa saja! Jadi mari kita putuskan sekali lagi Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi, Sekali lagi kawan, sebaris lagi Tikamkan pedangmu hingga ke hulu Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!Puisi Chairil Anwar Tentang Persahabatan – Kawanku Dan AkuKawanku dan AkuKami sama pejalan larut Menembus kabut Hujan mengucur badan Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat Siapa berkata-kata? Kawanku hanya rangka saja Karena dera mengelucak tenagaDia bertanya jam berapa?Sudah larut sekali Hilang tenggelam segala makna Dan gerak tak punya artiPuisi Chairil Anwar – 19431943Racun berada di reguk pertama Membusuk rabu terasa di dada Tenggelam darah dalam nanah Malam kelam-membelam Jalan kaku-lurus. Putus Candu. Tumbang Tanganku menadah patah Luluh Terbenam Hilang Lumpuh. Lahir Tegak Berderak Rubuh Runtuh Mengaum. Mengguruh Menentang. Menyerang Kuning Merah Hitam Kering Tandas Rata Rata Rata Dunia Kau Aku Chairil Anwar – AjakanAjakanIda Menembus sudah caya Udara tebal kabut Kaca hitam lumut Pecah pencar sekarang Di ruang lengang lapang Mari ria lagi Tujuh belas tahun kembali Bersepeda sama gandengan Kita jalani ini jalanRia bahgia Tak acuh apa-apa Gembira-girang Biar hujan datang Kita mandi-basahkan diri Tahu pasti sebentar kering 1943Puisi Chairil Anwar – Aku Berada KembaliAku Berada KembaliAku berada kembali. Banyak yang asing air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang Serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain; rasa laut telah berubah dan kupunya wajah juga disinari matari lain. Hanya Kelengangan tinggal tetap saja. Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan; lebih lengang pula ketika berada antara yang mengharap dan yang kiri masih terpaling ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang Chairil Anwar – Aku Berkisar Antara MerekaAku Berkisar Antara MerekaAku berkisar antara mereka sejak terpaksa Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata mereka pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda kenyataan-kenyataan yang didapatnya. bioskop Capitol putar film Amerika, lagu-lagu baru irama mereka berdansa Kami pulang tidak kena apa-apa Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa. Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga Sendarkan tulang belulang pada lampu jalan saja, Sedang tahun gempita terus berkata. Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota. Ah hati mati dalam malam ada doa Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka Semoga segala sypilis dan segala kusta Sedikit lagi bertambah cerita bom atom pula Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku Chairil Anwar – “BETINA”-NYA AFFANDIBetina-nya AffandiBetina, jika di barat nanti menjadi gelap turut tenggelam sama sekali juga yang mengendap, di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati. Matamu menentang – sebentar dulu! – Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu, sekarang senja gosong, tinggal abu… Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran Perempuan dan Laki1946Puisi Chairil Anwar – Buat Album Album gadis lagi menyanyi Lagu derita di pantai yang jauh, Kelasi bersendiri di laut biru, dari Mereka yang sudah lupa bersuka. Suaranya pergi terus meninggi, Kami yang mendengar melihat senja Mencium belai si gadis dari pipi Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi. Kami rasa bahagia kan tiba. Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan Dan di negeri kelabu yang berhiba Penduduknya bersinar lagi, dapat merdu! apa mengertikah adikku kecil yang menangis mengiris hati Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil, Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali?1946Puisi Chairil Anwar – Buat Gadis Rasid Buat Gadis RasidAntara daun-daun hijau padang lapang dan terang anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian burung-burung merdu hujan segar dan menyebar bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku” Dan angin tajam kering, tanah semata gersang pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi Kita terapit, cintaku – mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati Terbang mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat – the only possible non-stop flight Tidak Chairil Anwar – Buat Nyonya Nyonya terlampau puncak pada tahun yang lalu, dan kini dia turun ke rendahan datar. Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu, Burung-burung asing bermain keliling kepalanya dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada jalan dia terkenang akan jadi satu Atas puncak tinggi sendiri berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematian Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia sungguh tiada tahuJalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi, Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah- buah pandan ganjilTurun terus. Sepi. Datar-lebar-tidak bertepi1949Puisi Chairil Anwar – Catetan Th. 1946Catetan Th. 1946Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai, Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut, Dan suara yang kucintai kan berhenti membelai. Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut. Kita -anjing diburu- hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat. Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu; Kita memburu arti atau disertakan kepada anak lahir sempat. Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah, Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!1946Puisi Chairil Anwar – CeritaCeritakepada Darmawidjaja Di pasar baru mereka Lalu mengada-menggaya. Mengikat sudah kesal Tak tahu apa dibuatJiwa satu teman lucu Dalam hidup, dalam diselimuti tebal Sama segala kadang pula dapat Ini renggang terus Juni 1943Puisi Chairil Anwar – Cerita Buat Dien TamaelaBerita Buat Dien TamaelaBeta Pattiradjawane Yang dijaga datu-datu Cuma Pattiradjawane Kikisan laut Berdarah Pattiradjawane Ketika lahir dibawakan Datu dayung pattiradjawane, menjaga hutan pala. Beta api di pantai. Siapa mendekat Tiga kali menyebut beta punya sunyi malam ganggang menari Menurut beta punya tifa, Pohon pala, badan perawan jadi Hidup sampai pagi menari! mari beria! mari berlupa!Awas jangan bikin beta marah Beta bikin pala mati, gadis kaku beta kurim datu-datu!Beta ada di malam, ada di siang Irama ganggang dan api membakar pulau…Beta Pattiradjawane Yang dijaga datu-datu Cuma Chairil Anwar Tentang IbuIBUPernah aku ditegur Katanya untuk kebaikan Pernah aku dimarah Katanya membaiki kelemahan Pernah aku diminta membantu Katanya supaya aku pandai Ibu….. Pernah aku merajuk Katanya aku manja Pernah aku melawan Katanya aku degil Pernah aku menangis Katanya aku lemahIbu…..Setiap kali aku tersilap Dia hukum aku dengan nasihat Setiap kali aku kecewa Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat Setiap kali aku dalam kesakitan Dia ubati dengan penawar dan semangat Dan Bila aku mencapai kejayaan Dia kata bersyukurlah pada TuhanNamun….. Tidak pernah aku lihat air mata dukamu Mengalir di pipimu Begitu kuatnya dirimu….Ibu….Aku sayang padamu….. Tuhanku…. Aku bermohon padaMu Sejahterakanlah dia Selamanya…..Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – TAK SEPADANTak SepadanAku kira Beginilah nanti jadinya Kau kawin, beranak dan berbahagia Sedang aku mengembara serupa Ahasveros Dikutuk-sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta Tak satu juga pintu terbukaJadi baik juga kita padami Unggunan api ini Karena kau tidak kan apa-apa Aku terpanggang tinggal rangkaFebruari 1943Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Senja di Pelabuhan KecilSenja di Pelabuhan Kecil Buat Sri Ayati Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa Chairil Anwar Deru Campur Debu – Cintaku Jauh di PulauCintaku Jauh di Pulau Cintaku jauh di pulau Gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak kan sampai padanya Di air yang tenang, di angin mendayu di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata “Tujukan perahu ke pangkuanku saja. ”Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama kan merapuh Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!Manisku jauh di pulau, kalau ku mati, dia mati iseng Chairil Anwar Deru Campur Debu – Sebuah KamarSebuah Kamar Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu. “Sudah lima anak bernyawa di sini, Aku salah satu!” Ibuku tertidur dalam tersedu, Keramaian penjara sepi selalu, Bapakku sendiri terbaring jemu Matanya menatap orang tersalib di batu! Sekeliling dunia bunuh diri! Aku minta adik lagi pada Ibu dan bapakku, karena mereka berada d luar hitungan Kamar begini 3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa!Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – HampaHampaKepada Sri Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai di puncak. Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti Sepi Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencengkung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti. Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Prajurit Jaga Malam Prajurit Jaga Malam Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu? Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini Aku suka pada mereka yang berani hidup Aku suka pada mereka yang masuk menemu malamMalam yang berwangi mimpi, terlucut debu Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Yang Terampas dan Yang PutusYang Terampas dan Yang Putus Kelam dan angin lalu mempesiang diriku, Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu Di Karet, di Karet daerahku sampai juga deru dingin Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu Chairil Anwar Deru Campur Debu – Rumahku RumahkuRumahku dari unggun-timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampak Kulari dari gedong lebar halaman Aku tersesat tak dapat jalan Kemah kudirikan ketika senjakala Di pagi terbang entah ke mana Rumahku dari unggun-timbun sajak Di sini aku berbini dan beranak Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang Aku tidak lagi meraih petang Biar berleleran kata manis madu Jika menagih yang satu27 april 1943 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Persetujuan Dengan Bung Karno Persetujuan dengan Bung Karno Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengan bicaramu dipanggang diatas apimu, digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Sajak Putih Sajak Putih Bersandar pada tari warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh akuHidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah…1944Puisi Chairil Anwar – Dalam Kereta Dalam KeretaDalam kereta. Hujan menebal jendela Semarang, Solo…, makin dekat saja Menangkup senja. Menguak purnama. Caya menyayat mulut dan mata. Menjengking kereta. Menjengking jiwa, Sayatan terus ke dada15 Maret 1944Puisi Chairil Anwar – DendamDendamBerdiri tersentak Dari mimpi aku bengis dielak Aku tegak Bulan bersinar sedikit tak nampak Tangan meraba ke bawah bantalku Keris berkarat kugenggam di hulu Bulan bersinar sedikit tak nampakAku mencari Mendadak mati kuhendak berbekas di jariAku mencari Diri tercerai dari hatiBulan bersinar sedikit tak tampak13 Juli 1943Puisi Chairil Anwar – Derai-derai Cemara Derai-derai Cemaracemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendamaku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah1949Puisi Chairil Anwar – Di MesjidDi MesjidKuseru saja Dia Sehingga datang juga Kami pun bermuka-muka. Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada. Segala daya memadamkannya Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkudaIni ruang Gelanggang kami berperangBinasa-membinasa Satu menista lain Mei 1943Puisi Chairil Anwar – HukumHukumSaban sore ia lalu depan rumahku Dalam baju tebal abu-abu Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul. Bungkuk jalannya – Lesu Pucat mukanya – Lesu Orang menyebut satu nama jaya Mengingat kerjanya dan jasaMelecut supaya terus ini padanyaTapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenagaPekik di angkasa. Perwira muda Pagi ini menyinar lain masaNanti, kau dinanti-dimengerti!Maret 1943Puisi Chairil Anwar – IsaIsakepada nasrani sejati Itu Tubuh mengucur darah mengucur darahrubuh patahmendampar Tanya aku salah?kulihat Tubuh mengucur darah aku berkaca dalam darahterbayang terang di mata masa bertukar rupa ini segaramengatup lukaaku bersukaItu Tubuh mengucur darah mengucur darah12 November 1943Puisi Chairil Anwar – Jangan Kita Berhenti DisiniJangan Kita Berhenti DisiniJangan kita di sini berhenti. Tuaknya tua, sedikit pula Sedang kita mau berkendi-kendi Terus, terus dulu…!! Ke ruang dimana botol tuak banyak berbaris Pelayannya kita dilayuani gadis-gadis O, bibir merah, selokan mati pertama O, hidup, kau masih ketawa??24 Juli 1943Puisi Chairil Anwar – Kabar Dari LautKabar Dari LautAku memang benar tolol ketika itu, mau pula membikin hubungan dengan kau; lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu, berujuk kembali dengan tujuan biru. Di tubuhku ada luka sekarang, bertambah lebar juga, mengeluar darah, di bekas dulu kau cium nafsu dan garang; lagi aku pun sangat lemah serta menyerah. Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi. Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang. Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang. Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji. Atau di antara mereka juga terdampar, Burung mati pagi hari di sisi sangkar?1946Puisi Chairil Anwar – KenanganKenanganuntuk Karinah Moordjono Kadang Di antara jeriji itu-itu saja Mereksmi memberi warna Benda usang dilupa Ah! Tercebar rasanya diri Membumbung tinggi atas kini Sejenak Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang Hancur hilang belum dipegang Terhentak Kembali di itu-itu saja Jiwa bertanya Dari buah Hidup kan banyakan jatuh ke tanah? Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia19 April 1943Puisi Chairil Anwar – Kepada Pelukis AffandiKepada Pelukis AffandiKalau, ku habis-habis kata, tidak lagi berani memasuki rumah sendiri, berdiri di ambang penuh kupak, adalah karena kesementaran segala yang mencap tiap benda, lagi pula terasa mati kan datang merusak. Dan tangan kan kaku, menulis berhenti, kecemasan derita, kecemasan mimpi; berilah aku tempat di menara tinggi, di mana kau sendiri meninggiatas keramaian dunia dan cedera, lagak lahir dan kelancungan cipta, kau memaling dan memuja dan gelap-tertutup jadi terbuka!1946Puisi Chairil Anwar – Kepada Penyair BohangKepada Penyair BohangSuaramu bertanda derita laut tenang… Si Mati ini padaku masih berbicara Karena dia cinta, dimulutnya membusah Dan rindu yang mau memerahi segala Si Mati ini matanya terus bertanya! Kelana tidak bersejarah Berjalan kau terus! Sehingga tidak gelisah Begitu berlumuran darah. Dan duka juga menengadah Melihat gayamu melangkah Mendayu suara patah “Aku saksi!”Bohang, Jauh di dasar jiwamu bertampuk suatu dunia; menguyup rintik satu-Satu Kaca dari dirimu pula…1945Puisi Chairil Anwar – KesabaranKesabaranAku tak bisa tidur Orang ngomong, anjing nggonggong Dunia jauh mengabur Kelam mendinding batu Dihantam suara bertalu-talu Di sebelahnya api dan abu Aku hendak berbicara Suaraku hilang, tenaga terbang Sudah! Tidak jadi apa-apa! Ini dunia enggan disapa, ambil perduli Keras membeku air kali Dan hidup bukan hidup lagi Kuulangi yang dulu kembali Sambil bertutup telinga, berpicing mata Menunggu reda yang mesti tibaMaret 1943Puisi Chairil Anwar – Kita Gunyah LemahKita Gunyah LemahKita gunyah lemah Sekali tetak tentu rebah Segala erang dan jeritan Kita penmdam dalam keseharian Mari tegak merentak Diri-sekeliling kita bentak Ini malam purnama akan menembus Juli 1943Puisi Chairil Anwar – Kupu Malam dan BinikuKupu Malam dan BinikuSambil berselisih lalu mengebu debu. Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang Barah ternganga Melayang ingatan ke biniku Lautan yang belum terduga Biar lebih kami tujuh tahun bersatuBarangkali tak setahuku Ia 1943Puisi Chairil Anwar – Lagu BiasaLagu BiasaDi teras rumah makan kami kini berhadapan Baru berkenalan. Cuma berpandangan Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam Masih saja berpandangan Dalam lakon pertama Orkes meningkah dengan “Carmen” pula. Ia mengerling. Ia ketawa Dan rumput kering terus menyala Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi Darahku terhenti berlariKetika orkes memulai “Ave Maria” Kuseret ia ke sana….Maret 1943Puisi Chairil Anwar – Lagu SiulLagi SiulLaron pada mati Terbakar di sumbu lampu Aku juga menemu Ajal di cerlang caya matamu Heran! ini badan yang selama berjaga Habis hangus di api matamu Ku kayak tidak tahu Aku kira Beginilah nanti jadinya Kau kawin, beranak dan berbahagia Sedang aku mengembara serupa Ahasveros Dikutuk-sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta, Tak satu juga pintu baik kita padami Unggunan api ini Karena kau tidak kan apa-apa, Aku terpanggang tinggal rangka25 November 1945Puisi Kemerdekaan Chairil Anwar – MerdekaMerdekaAku mau bebas dari segala Merdeka Juga dari Ida Pernah Aku percaya pada sumpah dan cinta Menjadi sumsum dan darah Seharian kukunyah-kumamah Sedang meradang Segala kurenggut Ikut bayangTapi kini Hidupku terlalu tenang Selama tidak antara badai Kalah menangAh! Jiwa yang menggapai-gapai Mengapa kalau beranjak dari sini Kucoba dalam Juli 1943Puisi Chairil Anwar – Pemberian TahuPemberian TahuBukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing. Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. Aku pernah ingin benar padamu, Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali, Kita berpeluk ciuman tidak jemu, Rasa tak sanggup kau kulepaskan, Jangan satukan hidupmu dengan hidupku, Aku memang tidak bisa lama bersama Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!1946Puisi Chairil Anwar – PenerimaanPenerimaanKalau kau mau kuterima kau kembali Dengan sepenuh hati Aku masih tetap sendiri Kutahu kau bukan yang dulu lagi Bak kembang sari sudah terbagi Jangan tunduk! Tentang aku dengan beraniKalau kau mau kuterima kau kembali Untukku sendiri tapiSedang dengan cermin aku enggan 1943Puisi Chairil Anwar – PerhitunganPerhitunganBanyak gores belum terputus saja Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda cayaLangit bersih-cerah dan purnama raya… Sudah itu tempatku tak tentu di mana. Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi…!?Kini aku meringkih dalam malam Maret 1943Puisi Chairil Anwar – Sajak Buat Basuki ResobowoSajak Buat Basuki ResobowoAdakah jauh perjalanan ini? Cuma selenggang! – coba kalau bisa lebih! Lantas bagaimana? Pada daun gugur tanya sendiri, Dan sama lagu melembut jadi melodi! Apa tinggal jadi tanda mata? Lihat pada betina tidak lagi menengadah Atau bayu sayu, bintang menghilang! Lagi jalan ini berapa lama? Boleh seabad… aduh sekerdip saja! Perjalanan karna apa? Tanya rumah asal yang bisu! Keturunanku yang beku di situ! Ada yang menggamit? Ada yang kehilangan? Ah! Jawab sendiri! – aku terus gelandangan….28 Februari 1947Puisi Chairil Anwar – Selama Bulan Menyinari DadanyaSelama Bulan Menyinari DadanyaSelama bulan menyinari dadanya jadi pualam ranjang padang putih tiada batas sepilah panggil-panggilan antara aku dan mereka yang bertolak Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan di hadapan berpuluh lorong dan gang menimbang ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas” Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam ranjang padang putih tiada batas sepilah panggil-panggilan antara aku dan mereka yang bertolak Juga ibuku yang berjanji tidak meninggalkan sekoci. Lihat cinta juga luntur Dan aku yang pilih tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur rumah bersembunyi dalam cemara rindang tinggi pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang Gundu, gasing, kuda-kuadaan, kapal-kapalan di zaman kanak, Lihatlah cinta jingga luntur Kalau datang nanti topan ajaib menggulingkan gundu, memutarkan gasing memacu kuda-kudaan, menghempas kapal-kapalan aku sudah lebih dulu Chairil Anwar – Selamat TinggalSelamat Tinggal Perempuan… Aku berkaca Ini muka penuh luka Siapa punya? Kudengar seru menderu – dalam hatiku? – Apa hanya angin lalu? Lagu lain pula Menggelepar tengah malam butaAh…!!Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenalSelamat tinggal…!!!Puisi Chairil Anwar – SemangatSemangatKalau sampai waktuku kutahu tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu! Aku ini binatang jalang Dari kumpulan terbuangBiar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjangLuka dan bisa kubawa berlari BerlariHingga hilang pedih dan aku lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun 1943Puisi Chairil Anwar – SendiriSendiriHidupnya tambah sepi, tambah hampa Malam apa lagi Ia memekik ngeri Dicekik kesunyian kamarnyaIa membenci. Dirinya dari segala Yang minta perempuan untuk kawannya Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama Terkejut ia tertunduk. Siapa memanggil itu? Ah! Lemah lesu ia tersendu Ibu! Ibu!Februari 1943Puisi Chairil Anwar – Sia-siaSia-siaPenghabisan kali itu kau datang Membawaku kembang berkarang Mawar merah dan melati putih Darah dan Suci Kau tebarkan depanku Serta pandang yang memastikan untukmu. Lalu kita sama termangu Saling bertanya apakah ini? Cinta? Kita berdua tak mengerti Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri Ah! Hatiku yang tak mau memberi Mampus kau dikoyak-koyak 1943Puisi Chairil Anwar – Siap-SediaSiap-Sedia kepada angkatanku Tanganmu nanti tegang kaku, Jantungmu nanti berdebar berhenti, Tubuhmu nanti mengeras batu, Tapi kami sederap mengganti, Terus memahat ini Tugu, Matamu nanti kaca saja, Mulutmu nanti habis bicara, Darahmu nanti mengalir berhenti, Tapi kami sederap mengganti, Terus berdaya ke Masyarakat Jaya. Suaramu nanti diam ditekan, Namamu nanti terbang hilang, Langkahmu nanti enggan ke depan, Tapi kami sederap mengganti, Bersatu maju, ke kami panas selama, Badan kami tertempa baja, Jiwa kami gagah perkasa, Kami akan mewarna di angkasa, Kami pembawa Bahgia kawan Menepis segar angin terasa Lalu menderu menyapu awan Terus menembus surya cahaya Memancar pendar ke penjuru segala Riang menggelombang sawah dan hutanSegala menyala-nyala! Segala menyala-nyala!Kawan, kawan Dan kita bangkit dengan kesedaran Mencucuk menerawang hingga belulang. Kawan, kawan Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!1944Puisi Chairil Anwar – SorgaSorgabuat Basuki Resobowo Seperti ibu + nenekku juga tambah ketujuh turunan yang lalu aku minta pula supaya sampai di sorga yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu dan bertabur bidadari beribu Tapi ada suara menimbang dalam diriku, nekat mencemooh Bisakah kiranya berkering dari kuyup laut biru, gamitan dari tiap pelabuhan gimana? Lagi siapa bisa mengatakan pasti di ditu memang memang ada bidari suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?Malang, 23 Februari 1947Puisi Chairil Anwar – Sudah Dulu LagiSudah Dulu LagiSudah dulu lagi terjadi begini Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil Jangan tanya mengapa jari cari tempat di sini Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang penghabisan Yang akan terima pusaka kedamaian antara runtuhan menara Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi Jari tidak bakal teranjak dari petikan Chairil Anwar – TamanTamanTaman punya kita berdua tak lebar luas, kecil saja satu tak kehilangan lain dalamnya. Bagi kau dan aku cukuplah Taman kembangnya tak berpuluh warna Padang rumputnya tak berbanding permadani halus lembut dipijak kaki. Bagi kita bukan halangan. Karena dalam taman punya berdua Kau kembang, aku kumbang aku kumbang, kau kembang. Kecil, penuh surya taman kita tempat merenggut dari dunia dan nusiaMaret 1943***Demikian kumpulan Puisi Chairil Anwar yang merupakan karya yang luar biasa. Terimakasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat. Jika ingin mendengar dan melihat seperti apa puisi karya Chairil Anwar ini, Anda bisa menontonnya di dan Mari Berkarya!Incoming Termspuisi karya chairil anwarkumpulan puisi chairil anwarpuisi aku karya chairil anwarpuisi cinta chairil anwarmusikalisasi puisi chairil anwarkumpulan puisi pendek chairil anwarpuisi kemerdekaan chairil anwarpuisi diponegoro karya chairil anwarpuisi sumpah pemuda karya chairil anwarpuisi perjuangan chairil anwarpuisi pahlawan kemerdekaan karya chairil anwarSeorang penikmat kopi yang punya banyak mimpi dan sebentar lagi punya istri.

cerpen terkenal karya chairil anwar